10 Alasan Dukung Perda Antimaksiat
Sebanyak
134 anggota DPR menolak pencabutan Peraturan Daerah (PERDA)
Antimaksiat. Penoakan tersebut mereka bubuhkan dalam berkas kontra
petisi yang disampaikan kepada ketua DPR Agung Laksono di Gedung
DPR/MPR, Selasa (27/6).
Kontra petisi ini merupakan perlawanan atas memorandum yang disampaikan oleh 56 anggota DPR - belakangan berkurang menjadi 51- Selasa (13/6). Motor penggeraknya adalah para anggota DPR dari Fraksi PDIP dan PDS. Dalam memorandum tersebut, mereka menuntuk presiden agar mencabut semua perda yang mereka sebut sebagai Perda syariat Islam di berbagai daerah. Belaknagan, sebagian anggota DPR yang merasa dikibuli koleganya di PDIP dan PDS, menarik dukungannya.
Di bawah ini sepuluh alasan kenapa Perda Antimaksiat di berbagai daerah perlu didukung.
Pertama, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang diproklamirkan tanggal 17 Agustus 1945 bukanlah negara sekuler. Namun,bukan pula negara yang berdasarkan agama tertentu, tapi negara yang berpijak atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Prinsip ini telah tertuang secara jelas dalam sila pertama Pancasila dan tertuang juga dalam pasal 29 ayat 1 Undang - Undang Dasar 1945.
Berdasar atas ketentuan hukum di atas, berlakunya perda Antimaksiat di berbagai daerah tidak bertentangan dengan aturan hukum yang ada di Indonesia. Sebaliknya, keberadaan Perda-Perda tersebut menjadi semacam peraturan pelaksana UUD 1945 dan Pancasila.
Kedua, the founding father Indonesia menganggap sila pertama Pancasila, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila fundamental. Sila KEtuhanan Yang Maha Esa menjadi tempat payung dan berpulangnya keempat sila lainnya dalam Pancasila.
Sejalan dengan sila Ketuhanan Yang Maha Esa itulah sejumlah daerah memunculkan PErda Antimaksiat. Perda Antimaksiat ini justru melengkapi spirit sila pertama Pancasila itu.
Ketiga, UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945 telah meletakkan agama sebagai sumber moral. Ini tercantum dalam pembukaan UUD 1945 dan dijelaskan pula dalam pasal 28 E (1), 28 J (2), 19 (1), 31 (3), 31 (5). Berdasarkan itu, segelintir orang yang menyebut Perda Antimaksiat sebagai inkonstusional sungguh tidak berdasar, sebab tidak terbukti ada satu aturan hukum negara pun yang dilanggar oelh sejumlah perda tersebut.
Keempat, Seperti ditegaskan oleh mantan presiden pertama Indonesia Ir. Soekarno dalam pidato 1 Juni 1954, dengan sila Ketuhanan Yang Maha Esa segenap agama yang ada di Indonesia akan mendapat tempat yang sebaik-baiknya di Indonesia.
Kelima, sila Ketuhanan Yang Maha Esa tidak bisa dipisahan dari agama. Karena itu, keliru besar pendapat segelintir pihak yang menyebut syariat Islam bertolak belakang dengan konstitusi.
Sebaliknya, berdasarkan catatan sejarah, di antara kelompok lainnya, umat Islamlah yang paling besar kontribusinya untuk republik ini. Kontribusi umat untuk Republik Indonesia berbentang dari sebelum negara ini berdiri, masa Orla, Orba, hingga saat ini.
Keenam, faktanya bangunan hukum Indonesia punya konstruksi sendiri. Ia dibangun dari sumber - sumber hukum, adat, Barat dan Islam. Hukum Islam diambil karena Islam telah menjadi pegangan sebagian besar masyarakat Indonesia sejak berabad-abad lalu.
Jadi, sungguh ketakutan yang tidak beralasan anggapan yang menyatakan telah terjadi islamisasi hukum Indonesia. Apanya yang Islamisasi? Sebab hukum Islam memang sudah menjadi salah satu sumber hukum di Indonesia di samping hukum adat dan barat.
Ketujuh, Perda-Perda yang bermunculan bak cendawan di musim hujan itu mempunyai tujuan mulia. Yaitu untuk menanggulangi berbagai penyakit masyarakat, seperti perjudian, minuman keras dan prostitusi yang kini sudah makin meluas, baik di kota-kota besar maupun di pedesaan.
Meski relatif baru, namun keampuhan Perda tersebut memberantas penyakit masyarakat tidak diragukan. Di sejumlah daerah yang menerapkan Perda tersebut, angka kriminalitas bisa ditekan seminimal mungkin. Tawuran pelajar yang beberapa tahun lalu menjadi momok, kini mulai reda. Ujungnya, keamanan masyarakat semakin meningkat. Ini disebabkan Perda tersebut membuat efek jera, terutama bagi para pelaku kemaksiatan.
Kedelapan, Perda-perda yang muncul di sejumlah daerah, adalah lahir dari proses demokrasi yang fair. Seluruh komponen masyarakat, fraksi dan birokrasi terlibat penuh dalam proses pembuatannya. Karena perda itu merupakan aspirasi komponen masyarakat, politisi dan birokrasi daerah yang diperoleh dari proses demokrasi yang fair, maka pemerintah pusat tidak punya kewenangan mencabut Perda tersebut.
Berdasarkan itu pula, tuntutan 51 orang anggota DPR kepada presiden agar mencabut Perda-perda yang mereka sebut sebagai Perda syariat Islam, tidak memiliki pijakan jelas. Sikap para penolak yang berasal dari PDIP dan PDS tersebut lebih tepat diartikan sebagai sikap fobia yang berlebihan dan tidak proposional.
Kesembilan, Permintaan politisi Nasionalis-Sekular yang mewakili PDIP dan Kristen-Fundamentalis yang mewakili PDS kepada presiden untuk mencabut semua perda yang mereka sebut Perda syariat Islam, menurut berbagai kalangan, sama saja dengan gerakan makar, anarkis dan tidak demokratis. Hal ini disebabkan karena mereka telah mendorong presiden untuk melanggar konstitusi dengan menghapuskan Perda yang diperoleh dari hasil demokrasi yang fair.
Kesepuluh, Manuver koalisi anti-Islam menolak perda antimaksiat menunjukkan ketidakpahaman mereka dalam berdemokrasi. Bukti paling konkret dalam konteks ini adalah permintaan mereka kepada ketua DPR untuk menyurati presiden mencabut Perda Antimaksiat yang bermunculan di berbagai daerah. Permintaan itu jelas-jelas melanggar tata tertib DPR-RI yang telah disepakati semua anggota DPR.
Dari kesepuluh poin diatas, dapatlah dimengerti jika para politisi Nasionalis-Fundamentalis menolak Perda Antimaksiat di berbagai daerah. Wajar pula jika mereka berkoalisi menyebut Perda itu dengan Perda syariat Islam. Ini tidak lain karena mereka memang tidak mengerti berdemokrasi.
Karena itu, tidak berlebihan jika mereka disebut tidak demokratis dan anarkis. Selama ini umat Islam lah yang distigmakan tidak demokratis bahkan teroris. Faktanya, dalam sejarah perjalanan bangsa, kaum muslimin betul - betul menunjukkan jiwa kebangsaannya. Saat kelompok lain menuntut pemisahan diri dari NKRI, kaum Muslimin justru yang menyatukan bangsa ini. Ide integralistik pejuang Islam M. Natsir adalah salah satu contoh bagaimana Islam punya kontribusi besar untuk menyatuan bangsa ini.
Jadi, janganlah hantaman dari kelompok anti Islam itu membuat umat Islam ciut dan mundur memperjuangkan ideologinya. Kaum Muslimin harus menjadikannya sebagai ujian agar berjuang lebih gigih lagi.
Mari Kita Sosialisasikan Perda Anti Maksiat yang telah ada dan dukung serta perjuangkan bagi daerah yang belum mempunyai perda tersebut.
Kondisi di Purwakarta dengan banyaknya hiburan yang dilakukan oleh Penguasa jangan sampai dijadikan LEGALISASI KEMAKSIATAN di Sekitarnya.
Sekali lagi Ayo..!!! Sosialisasikan dan Jalankan Perda Anti Maksiat ( Klik Linknya untuk mengambil File Perda Anti Maksiat Kabupaten Purwakarta )
Kontra petisi ini merupakan perlawanan atas memorandum yang disampaikan oleh 56 anggota DPR - belakangan berkurang menjadi 51- Selasa (13/6). Motor penggeraknya adalah para anggota DPR dari Fraksi PDIP dan PDS. Dalam memorandum tersebut, mereka menuntuk presiden agar mencabut semua perda yang mereka sebut sebagai Perda syariat Islam di berbagai daerah. Belaknagan, sebagian anggota DPR yang merasa dikibuli koleganya di PDIP dan PDS, menarik dukungannya.
Di bawah ini sepuluh alasan kenapa Perda Antimaksiat di berbagai daerah perlu didukung.
Pertama, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang diproklamirkan tanggal 17 Agustus 1945 bukanlah negara sekuler. Namun,bukan pula negara yang berdasarkan agama tertentu, tapi negara yang berpijak atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Prinsip ini telah tertuang secara jelas dalam sila pertama Pancasila dan tertuang juga dalam pasal 29 ayat 1 Undang - Undang Dasar 1945.
Berdasar atas ketentuan hukum di atas, berlakunya perda Antimaksiat di berbagai daerah tidak bertentangan dengan aturan hukum yang ada di Indonesia. Sebaliknya, keberadaan Perda-Perda tersebut menjadi semacam peraturan pelaksana UUD 1945 dan Pancasila.
Kedua, the founding father Indonesia menganggap sila pertama Pancasila, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila fundamental. Sila KEtuhanan Yang Maha Esa menjadi tempat payung dan berpulangnya keempat sila lainnya dalam Pancasila.
Sejalan dengan sila Ketuhanan Yang Maha Esa itulah sejumlah daerah memunculkan PErda Antimaksiat. Perda Antimaksiat ini justru melengkapi spirit sila pertama Pancasila itu.
Ketiga, UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945 telah meletakkan agama sebagai sumber moral. Ini tercantum dalam pembukaan UUD 1945 dan dijelaskan pula dalam pasal 28 E (1), 28 J (2), 19 (1), 31 (3), 31 (5). Berdasarkan itu, segelintir orang yang menyebut Perda Antimaksiat sebagai inkonstusional sungguh tidak berdasar, sebab tidak terbukti ada satu aturan hukum negara pun yang dilanggar oelh sejumlah perda tersebut.
Keempat, Seperti ditegaskan oleh mantan presiden pertama Indonesia Ir. Soekarno dalam pidato 1 Juni 1954, dengan sila Ketuhanan Yang Maha Esa segenap agama yang ada di Indonesia akan mendapat tempat yang sebaik-baiknya di Indonesia.
Kelima, sila Ketuhanan Yang Maha Esa tidak bisa dipisahan dari agama. Karena itu, keliru besar pendapat segelintir pihak yang menyebut syariat Islam bertolak belakang dengan konstitusi.
Sebaliknya, berdasarkan catatan sejarah, di antara kelompok lainnya, umat Islamlah yang paling besar kontribusinya untuk republik ini. Kontribusi umat untuk Republik Indonesia berbentang dari sebelum negara ini berdiri, masa Orla, Orba, hingga saat ini.
Keenam, faktanya bangunan hukum Indonesia punya konstruksi sendiri. Ia dibangun dari sumber - sumber hukum, adat, Barat dan Islam. Hukum Islam diambil karena Islam telah menjadi pegangan sebagian besar masyarakat Indonesia sejak berabad-abad lalu.
Jadi, sungguh ketakutan yang tidak beralasan anggapan yang menyatakan telah terjadi islamisasi hukum Indonesia. Apanya yang Islamisasi? Sebab hukum Islam memang sudah menjadi salah satu sumber hukum di Indonesia di samping hukum adat dan barat.
Ketujuh, Perda-Perda yang bermunculan bak cendawan di musim hujan itu mempunyai tujuan mulia. Yaitu untuk menanggulangi berbagai penyakit masyarakat, seperti perjudian, minuman keras dan prostitusi yang kini sudah makin meluas, baik di kota-kota besar maupun di pedesaan.
Meski relatif baru, namun keampuhan Perda tersebut memberantas penyakit masyarakat tidak diragukan. Di sejumlah daerah yang menerapkan Perda tersebut, angka kriminalitas bisa ditekan seminimal mungkin. Tawuran pelajar yang beberapa tahun lalu menjadi momok, kini mulai reda. Ujungnya, keamanan masyarakat semakin meningkat. Ini disebabkan Perda tersebut membuat efek jera, terutama bagi para pelaku kemaksiatan.
Kedelapan, Perda-perda yang muncul di sejumlah daerah, adalah lahir dari proses demokrasi yang fair. Seluruh komponen masyarakat, fraksi dan birokrasi terlibat penuh dalam proses pembuatannya. Karena perda itu merupakan aspirasi komponen masyarakat, politisi dan birokrasi daerah yang diperoleh dari proses demokrasi yang fair, maka pemerintah pusat tidak punya kewenangan mencabut Perda tersebut.
Berdasarkan itu pula, tuntutan 51 orang anggota DPR kepada presiden agar mencabut Perda-perda yang mereka sebut sebagai Perda syariat Islam, tidak memiliki pijakan jelas. Sikap para penolak yang berasal dari PDIP dan PDS tersebut lebih tepat diartikan sebagai sikap fobia yang berlebihan dan tidak proposional.
Kesembilan, Permintaan politisi Nasionalis-Sekular yang mewakili PDIP dan Kristen-Fundamentalis yang mewakili PDS kepada presiden untuk mencabut semua perda yang mereka sebut Perda syariat Islam, menurut berbagai kalangan, sama saja dengan gerakan makar, anarkis dan tidak demokratis. Hal ini disebabkan karena mereka telah mendorong presiden untuk melanggar konstitusi dengan menghapuskan Perda yang diperoleh dari hasil demokrasi yang fair.
Kesepuluh, Manuver koalisi anti-Islam menolak perda antimaksiat menunjukkan ketidakpahaman mereka dalam berdemokrasi. Bukti paling konkret dalam konteks ini adalah permintaan mereka kepada ketua DPR untuk menyurati presiden mencabut Perda Antimaksiat yang bermunculan di berbagai daerah. Permintaan itu jelas-jelas melanggar tata tertib DPR-RI yang telah disepakati semua anggota DPR.
Dari kesepuluh poin diatas, dapatlah dimengerti jika para politisi Nasionalis-Fundamentalis menolak Perda Antimaksiat di berbagai daerah. Wajar pula jika mereka berkoalisi menyebut Perda itu dengan Perda syariat Islam. Ini tidak lain karena mereka memang tidak mengerti berdemokrasi.
Karena itu, tidak berlebihan jika mereka disebut tidak demokratis dan anarkis. Selama ini umat Islam lah yang distigmakan tidak demokratis bahkan teroris. Faktanya, dalam sejarah perjalanan bangsa, kaum muslimin betul - betul menunjukkan jiwa kebangsaannya. Saat kelompok lain menuntut pemisahan diri dari NKRI, kaum Muslimin justru yang menyatukan bangsa ini. Ide integralistik pejuang Islam M. Natsir adalah salah satu contoh bagaimana Islam punya kontribusi besar untuk menyatuan bangsa ini.
Jadi, janganlah hantaman dari kelompok anti Islam itu membuat umat Islam ciut dan mundur memperjuangkan ideologinya. Kaum Muslimin harus menjadikannya sebagai ujian agar berjuang lebih gigih lagi.
Mari Kita Sosialisasikan Perda Anti Maksiat yang telah ada dan dukung serta perjuangkan bagi daerah yang belum mempunyai perda tersebut.
Kondisi di Purwakarta dengan banyaknya hiburan yang dilakukan oleh Penguasa jangan sampai dijadikan LEGALISASI KEMAKSIATAN di Sekitarnya.
Sekali lagi Ayo..!!! Sosialisasikan dan Jalankan Perda Anti Maksiat ( Klik Linknya untuk mengambil File Perda Anti Maksiat Kabupaten Purwakarta )
Komentar
Posting Komentar